RIMBA LUGUS

Namaku Pung, mungkin terdengar aneh ditelinga kalian. Namun, nama itu telah melekat sejak aku terlahir ke dunia ini. Aku tak tahu arti dan makna namaku maupun sejarah terbentuknya, aku hanya tahu Pung itu merupakan tanda pengenalku.


Suatu malam, seorang kawan pernah berkunjung kegubukku. Namanya piik, ia adalah seorang lelaki cerdas yang ditempa alam  dengan bijaksana, tidak pernah kulihat ada hal yang membatasi pikirannya untuk merdeka. Kebetulan saat itu aku tengah menikmati belaian angin malam dusunku diiringi alunan musik alami milik mahluk malam. Ditemani kopi hitam dan pisang rebus Piik kemudian bercerita memecah suasana.


Begini ceritanya.


“Dahulu, Lugus tercinta ini belum mendapatkan gelar dusun di depan namanya, ia masih berstatus perawan pingitan yang dimanjakan ibu pertiwi. Pesonanya tersohor sampai pelosok negeri menggoda kami mengarayangi tiap inci tubuhnya.”


“Pada waktu itu, Lugus merupakan rimba yang belum jinak. Mahluk buas mengancam dari balik belukar menjadi aksesori kesuciannya, rasanya sangat mengerikan bila kuingat-ingat kembali.” Kata Piik, kemudian meludah.


“Lumut merayap pada banir tua dimakan usia, kemudian dari pucuk pepohonan menjuntai tumbuhan rambat yang sangat lebat hingga menutupi cahaya surya.”


“Semakin jauh kedasar Lugus, nampak tapak-tapak raksasa gerombolan babi mengacak rumpun keladi, diantaranya terdapat beberapa bekas hewan melata mengintai mangsa”. Piik berhenti sejenak untuk menghisap rokoknya.


“Namun, bagian terbaiknya adalah saat dimana inflasi itu terjadi, Pung. Uang seakan kehilangan nilainya, harga-harga barang melonjak tinggi, tak tergapai rang-orang kecil seperti kita” lanjutnya.


“Apa penyebabnya?” Tanyaku spontan.


“Tak ada orang yang berani bercerita soal itu, Pung. karena lalu-lalang serdadu acap kali berderap di jalanan, membuat mulut-mulut terkunci takut terinjak sepatu baru.”


“Yang jelas, harga beras melambung tinggi sekali, bagai api menyulut gudang jerami.” Piik, menghembuskan asap  kreteknya kelangit-langit.


“Saat itu, kami baru pindah dan sedang membuka lahan perkebunan baru di Lugus ini.”


“Inflasi mengubah semuanya, recehan di dalam dompet tak sanggup menopang hidup.”


“Nasi tidak pernah lagi menjejali kerongkongan kami, jangankan rasa baunya saja kami telah lupa. Pada akhirnya, pisang dan ubi kayu jadi makanan pokok jenis baru.” Piik tersenyum, matanya menerawang jauh diantara pendar-pendar cahaya bulan.


“Tujuan kami yang semula untuk membangun ekonomi dengan berkebun di lahan baru, terpaksa berubah menjadi usaha untuk bertahan hidup, sampai beberapa orang dari kami menyerah karena tak sanggup.”


Aku terperkur khusyu, imajinasiku liar menyerobot kesana-kemari menggambarkan cerita Piik. Sementara, ia kembali menyulut rokoknya dengan macis gas yang kehabisan batu api.


“Pung, macismu pinjam.” lalu ia sulut kreteknya, dihisapnya dalam-dalam.


“Saat itu, aku berusia duabelas tahun dan duduk dikelas lima sekolah dasar.”


“Semenjak inflasi terjadi , ayahku berganti pekerjaan dari membuka lahan menjadi pencari rotan.”


“Suatu hari, aku pernah menyertainya kebelantara. Kami berpacu melewati jarak berkilo-kilo, melalui tiap punggung bukit-bukit raksasa, membongkar belukar, menelusuri rawa, dan menjelajahi lereng-lereng curam agar tak ada rumpun rotan yang terlewat. ”


“Kami tak pernah beristirahat walau sesaat, potongan-potongan rotan yang terkumpul kemudian kami ikat lalu kami pisahkan menjadi dua bagian, satu untuk ayahku dan satu untukku.”


“Rotan-rotan itu kemudian kami tarik melewati jalan mendaki, menurun, terjal, dan bahkan curam. Tujuan kami yaitu tempat penjualan dihilir sungai yang jaraknya berkisar puluhan kilo lagi.”


“Ayahku mendesak mempercepat langkah, sekilas terlihat ambisius. Padahal semenjak turun dari rumah, ia terus mengulang kalimat itu. Cepat, cepat sedikit, atau lebih cepat lagi.”


“Matahari tinggal setengah karena setengahnya telah terbenam dipunggung bukit, awan merah pertanda akhir senja semakin gelap terkatung-katung diangkasa. letih memuncak, lapar menggerogoti, membuat sekujur tubuhku bergetar hebat. Tenagaku yang bersumber dari pisang rebus sarapan pagi telah sampai diujung penghabisannya” Piik tersenyum, mengenang nostalgia akan susahnya nasi zaman itu.


“Menjelang malam kami pulang kerumah. Rotan-rotan itu kami tinggalakan dan pekerjaan ditunda. Jarak rotan-rotan itu masih setengah jalan dari tujuan.”


“Saat itu, aku merasa sangat  bersalah, bukannya membantu atau mempersingkat waktu tetapi malah memperlambat kerja yang semestinya dapat diselesaikan ayahku dalam satu hari.”


“Namun ada satu hal yang dapat kupetik dari sana, yaitu kebenaran tentang bengisnya inflasi. Sehingga mampu mengubah senyum menyenangkan ayahku menjadi kedok kepalsuan, agar kami selalu riang.”


“Hari itu pula, kulihat jelas penderitaan, luka, darah, dan kelemahan, yang dia genggam dengan tenaga tuanya” Tuturnya.


Kusimak dengan baik ceritanya, kucatat yang perlu dicatat. Selebihnya kubiarkan memoriku bekerja agar ia tak hanya bersantai dan berleha-leha.


*****


“Esoknya, kami kembali berkutat lagi dengan rotan-rotan itu”


“Saat itu, aku tengah mengupas kulit rotan yang berduri runcing sambil melamun tentang nasib kami dihari depan, hingga tanpa sadar bilah tajam parang telah menebas tanganku membuat jari-jariku menggantung hampir putus, darah muncrat kemana-kemana, pandanganku buram, lalu gelap, dan perlahan kesadaranku lenyap.”


“Tersadar aku saat tengah berada digedongan ayahku, pontang-panting ia berlari menerobos rimba, nafasnya menderu, matanya basah bercampur keringat yang mengalir di antara keriput dahinya.”


“Kami telah melewati beberapa bukit namun ayahku tak beristirahat, ia terus berpacu, terus berlari, berusaha menembus batasan waktu karena darah yang mengalir dari tanganku tak berhenti keluar.”


“Yah, mungkin berasa hangat mengalir di pundaknya” celotehku.


Piik tersenyum, kulihat ia seolah meneguhkan hati, serta menguatkan otot-otot rahangnya.


“Bersekolah dengan baik, Pung.” Kata piik tegas. “Bercita-citalah yang tinggi melewati impian kapitalis bajingan itu, dan bermimpilah seolah engkau hidup seribu tahun lagi.” Pesannya padaku, sebelum melanjutkan ceritanya.


“Melihat situasi dan kondisi yang pelik zaman itu, kuputuskan untuk berhenti bersekolah agar supaya tiada lagi uang yang dihamburkan untuk membeli alat tulis, dan peralatan sekolahaan.”


“Aku juga bersumpah untuk tak lagi melamun walau sekejap pun.” Ucapnya dengan raut wajah mantap.


“Inflasi itu sangat kejam, lebih kejam dari serdadu jepang, lebih buas dari rimba perawan, dan  lebih mengerikan dari mahluk belantara.”


“Saat itu tekadku telah bulat dengan putusan membantu keluargaku, demi ayahku, demi asap dapur ibuku, dan demi tawa adik-adikku.”


Piik menyulut kretek pahala terakhirnya, bungkusnya ia lemparkan pada pekatnya malam. Gelap telah merambat, bulan pun juga terbenam beberapa jam yang lalu. Kopinya yang tinggal ampas itu, ia seruput sekaligus.


 Timbul pertanyaan menggelitik naluriku.


“Piiik, apakah kau,…?” Belum selesai kalimatku, ia memotong.


“Jangan kau tanya soal penyesalan, aku tak menyesal karena ini adalah pilihan, dan kau harus tahu, kita adalah manusia-manusia merdeka sejak lahir.”

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama

Post Ads 1

Post Ads 2

Advertising Space